Buket Bunga Untuk Bunda
AYAH MASIH MENATAP penuh kebencian ke arahku, matanya memerah dan tidak sedikitpun dia iba saat sosok Bunda menangis dan berlutut di kakinya, memohon dengan penuh pengharapan.
“Sampai kapan pun Ayah tidak sudi memaafkanmu!” bentaknya penuh emosi. Aku hanya terdiam tanpa sanggup menatap
bola matanya yang memerah laksana bola api menyala dalam kegelapan, bagai iblis yang siap melahap dan membabat
apa saja yang menjadi penghalang dalam langkahnya.
“Cukup
Ayah… Keni
anakmu, apapun,
bagaimana pun dia adalah anak kita,”
Bunda masih saja memohon di kaki Ayah yang berdiri kokoh tanpa rasa kasihan
pada sosok Bunda yang bersimbah air mata.
“Ayah, Kakak tidak mungkin terlibat dalam
pencurian itu.
Aku yakin kakak tidak seperti yang ayah kira,” bela Tinka adikku, seraya menyentuh pundakku. Dia tampak terpukul setelah
melihat Ayah
menghantam pipiku dengan bogem mentah,
tepat di bibirku yang saat ini mulai terasa hangat dan perlahan darah segar
lengser di sudut bibirku.
“Semua
sudah jelas, Tinka! Ayah tidak percaya lagi dengan kelakuan anak jahanam
ini!”
balas Ayah, lalu kembali tangannya menampar pipiku.
“Ayah
cukup….! Ayah, Bunda mohon hentikan…!” isaknya semakin terdengar pedih di
telingaku. Demi Tuhan aku sudah membuat orang yang aku sayangi menitikan air
mata, sosok yang sangat aku cintai dan aku kasihi.
“Pergi kamu dari rumah ini!” usir Ayah seraya mendorong dadaku
dengan penuh kebencian.
Tinka masih memeluk pundakku sambil menangis, sedang Bunda terus saja terisak seraya memohon
tanpa pernah memperdulikan harga dirinya dalam membelaku.
“Pergi kamu...! Pergi….!! ” Ayah menyeretku dengan paksa, lalu mendorongku dengan kasar di bibir
pintu.
Aku tidak memohon saat itu, aku tidak membela diri saat Ayah
menghakimiku, hanya Bunda dan Tinka adikku yang menjerit, memohon pada Ayah
yang telah mengusirku pergi dari rumah.
Tangisan
Bunda jelas terdengar semakin pedih saat dengan kasar Ayah menutup pintu dan
kini Ayah benar-benar mengusirku pergi.
“Ayah
benar-benar mengusirku. Ayah sudah tidak menganggap aku sebagai anaknya lagi….”
Aku
hanya dapat berkata dalam hati. Sungguh langkah ini terasa berat, saat
perlahan kaki ini melangkah menjauh meninggalkan Rumah dimana aku di besarkan. Ini
semua murni kesalahanku, kesalahan yang mungkin sulit untuk di maafkan oleh Ayah.
Dua
jam yang lalu Ayah menjaminku dari kantor Polisi karena aku dan dua temanku terbukti mencuri laptop seorang
mahasiswi di salah satu perguruan tinggi,
dimana aku menuntut ilmu. Bukan karena
aku tidak mampu membeli barang itu.
Entah dorongan darimana, aku ikut saja
saat Ridho dan Aditya menyeretku ke lubang
masalah, yang akhirnya membuatku terusir dari rumah dan diberhentikan secara
sepihak dari kampus. Sudah pasti itu hal yang sangat memalukan untukku,
terlebih keluargaku.
Langkahku
semakin tak tentu arah menyusuri jalan raya yang ramai kendaraan berlalu
lalang. Aku harap malam ini hanya mimpi. Yah, mungkin saja ini hanya mimpi dan
saat aku terbangun aku masih mendengar Tinka membangunkanku seperti biasa dan
kami siap menikmati sarapan pagi di meja makan bersama Ayah dan Bunda.
***
TOK, TOK, TOK…!
“Bangun
sudah siang…!” terdengar suara ketukan pintu yang terdengar lembut, membuatku
tersentak dan membuyarkan mimpi buruk yang aku alami semalam. Aku kembali
mengingat mimpi itu. Aku hanya bermimpi, pikirku, lantas perlahan kutinggalkan
tempat tidur dalam keadaan tidak rapi.
“Ayaaah…!”
teriak seorang anak berusia 3 tahun, berlari memelukku. Aku terdiam, lalu
kuingat-ingat tentang mimpiku semalam.
“Ayah
kenapa? Kok malah bengong?“ sapa seorang wanita cantik, yang sibuk menyiapkan
sarapan pagi dengan rol rambut masih menggantung diponinya.
Ya
Tuhan, ternyata ini bukan mimpi, entah sudah berapa lama aku meninggalkan rumah.
Meninggalkan Ayah, Bunda, dan Tinka. Sosok dihadapanku dan anak yang kini ada
dalam pelukanku adalah keluarga baruku, yang telah 3 tahun kubangun.
Sudah
kucoba mengubur dalam-dalam tentang kenangan pahit itu, namun tetap saja tak
bisa aku lupakan. Hari ini Lina, istriku, membawa beberapa barang belanjaan
yang masih terbungkus rapi dengan plastik hitam, dan diletakannya di meja,
tepat di hadapanku.
“Ayah….”
begitu biasa ia memanggilku.
“Aku sudah berpikir matang untuk hal ini. Ingat,
kita sudah 3 tahun menikah, bahkan anak kita sebentar lagi masuk TK. Carrel
selalu bertanya dan ingin sekali bertemu kakek dan neneknya, bahkan dia pernah
melukis dan membayangkan mereka dalam selembar kertas, ” ucapnya lembut,
seperti biasa membuat hatiku terasa sejuk. Ia tersenyum lalu kembali berbicara.
“Ini
ada kain sarung, baju gamis dan jilbab yang aku pilih sendiri. Sarung ini untuk
Ayah, gamis ini untuk Bunda dan jilbab ini untuk Tinka, adik iparku yang belum
pernah kulihat,” ucapnya lagi dengan kelembutan wanita yang dia miliki. Aku
hanya diam tanpa suara. Mataku lekat menatap mata wanita indah yang kucintai. Wanita
yang lembut, dia begitu faham dengan apa yang aku rasakan dan aku harapkan.
“Ayah
tidak harus datang ke rumah. Ayah cukup kirimkan saja barang-barang ini melalui
paket,” saran istriku, yang tak bisa kutolak.
Saran
Lina aku terima, kukirim paket yang tidak terlihat besar itu ke rumah Bunda. Entah
apa reaksi keluargaku saat menerimanya, apakah Bunda akan senang atau malah
Ayah akan membuang paket itu. Aku berusaha untuk biasa dan tidak memikirkan hal
itu, tapi tetap saja semua berkecamuk dalam pikiranku.
***
SORE ITU,
saat aku pulang bekerja, kulihat Lina dan Carrel sedang asyik bermain di
halaman rumah kami yang tidak begitu luas. Lina benar-benar sosok wanita shalehah,
bisa dibilang aku beruntung mendapatkan wanita sebaik dia.
“Ayah
Utah pulang…” Carrel menyapaku dengan
suaranya yang cadel. Kupeluk erat-erat anak lelaki berusia 3 tahun yang sangat
kubanggakan itu.
“Ayah
pasti tidak percaya dengan amplop yang Ibu pegang ini,” Lina mengeluarkan
amplop dari saku celananya. Aku mengerutkan kening tidak mengerti.
“Amplop
apa itu, Lin?” tanyaku ingin tahu. Lantas Lina menyerahkan amplop itu padaku.
Kami
sudah duduk di ruang tamu, dan perlahan-lahan amplop itu kubuka dan terlihat jelas ukiran-ukiran
tulisan cantik yang sudah dapat kuterka kalau itu tulisan Tinka, adikku.
Teruntuk Kenatan anakku…
Keni… Rasa haru dan rasa senang Bunda akhirnya tahu
dimana keberadaanmu. Bunda begitu merindukanmu, Nak.
Anakku, maafkan segala kekhilafan
Ayahmu saat itu. Ayahmu hanya khilaf dan tidak bisa mengontrol emosinya.
Anakku, Bunda tak henti terisak
saat menerima pakaian indah yang di berikan istrimu untuk Bunda. Sungguh Bunda
tidak bisa melukiskan betapa lega dan senangnya hati ini. Bunda ingin sekali memeluk
dan mencium cucu Bunda yang tampan dan tampak pintar di foto yang kalian
kirimkan.
Keni percayalah, Ayahmu sudah
sangat ingin bertemu denganmu, Nak. Ayah sudah sangat merindukanmu, begitu juga
dengan Bunda dan Tinka adik mu. Peluk rindu dan cinta Bunda untuk Lina menatu
Bunda dan kecup terhangat untuk Carrel cucu tersayang Bunda.
Keni bunda ingin menerima buket
bunga seperti saat dulu kau berikan untuk bunda di hari Ibu, Nak. Pulanglah… kami
sangat merindukanmu.
Aku
tak kuasa menahan air mata yang lengser di pupil mataku. Lina memeluk bahuku. Sungguh
ini semua berkat Lina, yang begitu ingin mempersatukan aku dan keluargaku,
sehingga harapan yang sejak dulu terkubur karena rasa takutku pada Ayah, kini
berbuah manis hanya dengan sepucuk surat balasan dari Bunda.
Setelah
menerima surat dari Bunda, perasaan yang terasa pedih di hatiku perlahan mulai
membaik. Aku sudah dimaafkan oleh Ayah, dan itu adalah hal yang sangat membahagiakan
untukku lebih dari kabar baik yang pernah aku dapatkan selama ini.
Surat dari Bunda merupakan obat penawar yang
sangat luar biasa untukku, bahkan Lina begitu antusias saat aku memutuskan
kembali ke rumah, dimana dulu aku di besarkan.
“Aku
dukung sepenuhnya kalau kamu ingin pulang untuk mengunjungi kedua orang-tuamu. Mungkin
ini salah satu impianku sejak dulu. Ya, aku sangat ingin melihatmu dan orang tuamu
bersatu,” ucap istriku, saat aku mengutarakan kalau aku sangat ingin bertemu
dengan kedua orangtuaku.
Sosok
wanita sempurna, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan wanita cantik
dihadapanku. Dia begitu baik dan benar-benar memahami apa yang aku rasakan dan
apa yang ingin aku curahkan, beruntung aku memiliki istri sepertinya.
***
PESAWAT JURUSAN JAKARTA-SURABAYA
sudah melambung tinggi diangkasa. Rumah-rumah terlihat rata dari atas, laut
terlihat lebih luas dari yang kubayangkan. Tatapanku menerawang jauh,
membayangkan aku akan bersujud dikaki Ayah untuk memohon maaf, dan aku akan
memeluk Bunda dengan erat janjiku.
Waktu
serasa cepat berlalu, detik menjadi menit perlahan berubah menjadi pusaran
waktu yang tidak kuhitung berapa jam perjalan Jakarta menuju Surabaya.
Halaman
rumah sederhana itu sekarang sudah di
depan mataku. Aku melihat sosok pria paruh baya sedang duduk sambil membaca Koran,
seperti kebiasaannya dulu. Langkahku terhenti di sudut pagar bersama Lina dan
Carrel. Sungguh aku tidak berani melangkah saat sosok tua itu tengah kusyuk
menatap koran ditangannya. Tiba-tiba saja Carrel berlari, seolah mengerti jika lelaki
tua itu adalah kakeknya.
“Kakekkk…!”
teriak Carrel seraya berlari, memecah konsentrasi lelaki tua itu.
“Hmm,
kamu anak siapa?” tanya lelaki itu heran. Aku hanya melihat dari sudut pagar. Lina
sesekali membelai punggungku.
“Kakek,
aa..ku..Carrel…” ucap putraku dengan suara terbata-bata. Lelaki tua itu semakin
heran dengan tingkah anak kecil dihadapanya. Lantas Tinka datang menghampiri
Carrel. Sambil berjongkok gadis cantik itu membelai rambut anakku.
“Anak
pintar… Kamu dari mana? Lalu, dengan siapa kamu kemari?” tanya Tinka seraya
mengimbangi bahasa Carrel yang manja. Carrel berbalik, lalu menunjuk ke arah
kami berdua di balik pagar.
“Itu
Papa sama Mama Carrel, Tante…” Tinka
terdiam tak percaya, dipeluknya tubuh mungil Carrel dengan penuh kasih sayang. Air
matanya jatuh berderai, tangis pecah dan semakin terdengar keras. Aku berlari, dan
tersungkur berlutut di kaki Ayah. Sedang Lina istriku berjalan perlahan dengan
buket bunga Lili digenggamanya.
“Maafkan
Keni, Yah…” kataku dengan isak tangis yang terasa sakit.
“Keni
bukan anak yang baik. Keni mohon maaf, Yah….” pintaku, penuh penyesalan. Entah
mengapa tangisku semakin meraung. Ayah mengusap kepalaku perlahan, dan tidak terasa
tetesan air matanya menetes di punggungku.
“Ayah
yang salah, Nak. Tapi percayalah, Ayah sangat menyayangimu…” ucapnya penuh
keharuan, membuat tangisku kian pecah. Tanpa tak dapat kutahan kupeluk erat-erat
tubuh Ayah. Sungguh perasaan itu sulit aku lukiskan dalam bentuk kata-kata,
perasaan haru dan bahagialah yang kini kurasakan. Tinka memeluk tubuhku dengan
penuh haru, sedangkan Carrel menerobos dengan kasar, berusaha ingin dipeluk sang
kakek.
“Cucu
kakek yang tampan…” ucap Ayah bangga sambil memeluk Carrel. Kami disambut
tangis oleh Tinka dan Ayah. Hati kecilku masih terus berkecamuk, tak sabar
rasanya untuk bertemu Bunda. Kuhapus air mataku, lalu Lina memberikan buket
bunga Lili yang sejak tadi ditangan istriku. Tinka tidak henti memeluk dan
mencium Lina istriku dan mencurahkan betapa kagumnya akan sosok Lina.
“Dimana
Bunda, Dik?” tanyaku pada Tinka.
Suasana
tampak hening sejenak. Tinka menatap wajah Ayah.
“Dibelakang,
Kak. O ya, sebaiknya Kakak duduk dulu, biar Tinka buatkan minum,” kata adikku,
setelah kami masuk ke ruang tamu.
Aku
berjalan dengan setengah berlari menuju dapur dan membawa Bunga Lili kesukaan
Bunda. Aku ingin sekali memberikan surprise
untuk Bunda.
“Jangan,
Kak!” teriak Tinka yang tak kuhiraukan.
“Bunda…!
Bunda…! Keni pulang, Bunda!” teriakku sambil membuka pintu dapur dan berusaha
mencarinya di ruang makan, tapi Bunda tidak juga kutemukan.
“Bunda
tidak dirumah, Kak,” Tinka menghentikan pencarianku.
“Bunda
sedang keluar? Pergi kemana?” tanyaku semakin penasaran. Tinka terdiam, lalu
perlahan menarik tanganku dan berjalan menuju halaman belakang rumah kami.
Kakiku
gemetar menatap halaman belakang rumah itu. Disana terlihat hamparan rumput
hijau begitu rapi. Mataku berair, dadaku terasa sesak, tubuhku terasa ringan
bagai melayang, seakan siap menghantam batu besar dengan terjangan dahsyat yang
siap membuat hatiku semakin pilu.
Perlahan
kakiku melangkah menghampiri gundukan tanah dengan nisan bertuliskan nama Bunda
dengan ukiran yang sangat indah. Kakiku tersungkur, tepat di samping pusara
makam Bunda, orang yang sangat aku rindukan, orang yang sangat aku harapkan. Wajahnya
tersenyum menyambut kehadiranku, tapi ternyata Bunda-ku tercinta kini telah terbaring
abadi di sisi-Nya.
“Aku ingin sekali memelukmu, Bunda.
Keni kangen sekali belaian kasih sayang tangan Bunda mengusap rambut Keni pada saat
Keni menangis pilu…”
Aku
kangen mendengar suara Bunda saat Bunda bercerita tentang sejarah para nabi
sebelum aku tidur.
Aku
kangen akan kebaikan Bunda yang setiap pagi membangunkanku, memandikanku,
menyiapkan sarapan saat aku pergi ke sekolah.
Semua
bayangan tentang Bunda teringat, mengalir seiring air mata yang membasahi
pipiku, basah dan terasa pedih, sakit bagai teriris, dan ada rasa sesal menggumpal
di dalam dadaku. Mengapa tidak dari dulu aku datang dan memberanikan diri untuk
pulang.
“Aku kangen dengan kemarahanmu
saat aku berbuat nakal.”
“Bunda, setiap kali
aku kangen padamu, air mata ini mengalir begitu saja tanpa dapat kucegah. Sekarang
aku datang, Bun… Aku datang bersama
istri dan cucumu. Cucumu yang tidak sempat kau lihat kehadirannya,” kataku
dengan lelehan air mata dan kepedihan hati yang menusuk.
“Bunda… Keni datang dengan
istri dan cucu Bunda yang tampan. Namanya Carrel Kenatan Satria, Bun. Carrel Kenatan
Satria adalah nama yang akhirnya disetujui Ayah mertuaku setelah kami berdebat
cukup panjang tentang arti sebuah nama.”
“Ia mirip sekali
dengan Keni, Bun. Carrel juga nakal, cengeng, dan selalu bikin mamanya repot, sama
seperti Keni dulu, yang selalu saja bikin Bunda repot.”
“Keni menyaksikan sendiri
saat proses kelahirannya, Bun. Keni nyaris pingsan melihat darah keluar begitu
banyak. Tapi perasaan Keni begitu menakjubkan, Keni terharu mendengarnya
menangis untuk pertama kali.”
“Keni bahagia, Bun. Keni
telah menjadi seorang ayah. Sekarang Keni datang, Bunda. Diatas pusaramu aku
menangis dan berdoa. Mengenang segala salah dan dosaku kepadamu. Kepergianmu telah
mendewasakanku dan mengajarkanku akan pentingnya arti hidup untuk menjadi manusia
yang berguna bagi sesama.
Kepergianmu telah mengajarkanku,
bagaimana harus mencintai dan menyayangi, bagaimana harus tulus berkorban dan
bersabar, bagaimana harus berjuang demi anak-anaknya. Hingga saat terakhir
hayatmu, engkau salalu berdoa demi kebahagiaan anak-anakmu. Bila datang saatnya nanti, akan aku ceritakan
segala kebesaran dan rasa kagumku akan sosok Bunda pada putraku.
Dengan diiringi rinai
gerimis kupanjatkan doa-doa suciku, semoga engkau mendapatkan tempat terbaik
disisi-Nya.
“Bunda… Keni datang
membawa buket bunga Lili yang Bunda sukai. Keni ingin sekali memeluk Bunda,
Keni sayang Bunda karena Allah.”
Rinai gerimis kian membalut
rasa haru kepergian Bunda yang tidak kuketahui sebelumnya. Lina membelai bahuku
dengan lembut. Terlihat jelas di wajah cantiknya menahan tangis melihatku tak berdaya
memeluk makam Bunda.
“Keni… Bundamu tentu
bahagia sekali hari ini. Bundamu sudah menantikan hari ini, Nak,” kata Ayah,
membesarkan hatiku. Tinka menangis di punggung Ayah.
Air mata masih
membasahi pipi, sesak masih memenuhi rongga dadaku, dan isak tangis masih terasa
pilu. Tinka memelukku erat-erat.
“Maafkan Tinka, Kak. Bukan
maksud Tinka membohongi, Kakak. Tinka hanya ingin Kakak pulang, ” ujar Tinka
dengan isak tangis yang semakin terdengar merintih. Kuusap rambut ikalnya, lalu
kucoba untuk mengerti apa yang dilakukan Tinka. Tujuan gadis cantik itu baik,
dia membalas surat atas nama Bunda tujuannya hanya untuk membuatku kembali
kepelukan keluarga besarku.
Segala sesuatu yang telah
pergi tidak mungkin akan kembali lagi. Biarlah kepergian Bunda menjadi
pelajaran berharga untukku, belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik,
berusaha mengerti jika di balik sebuah peristiwa pastilah Tuhan memberi rencana
lain yang mungkin lebih baik dari yang kujalani sekarang.
Hanya doa suci yang
dapat aku berikan untuk Bunda tercinta, yang telah mendapat tempat terbaik
disisi-Nya.
“Sebaik-baik apa yang
ditinggalkan oleh seseorang setelah kematiannya adalah tiga perkara : anak
shalih yang mendoakannya, shadaqah mengalir yang pahalanya sampai kepadanya,
dan ilmu yang diamalkan orang setelah (kematian) nya” (HR Ibnu Majah).
SELESAI
0 Komentar